Tafsir
Surah Al-Ikhlas
Inilah pokok pangkal akidah, puncak dari
kepercayaan. Mengakui bahwa yang dipertuhan itu ALLAH nama-Nya. Dan itu adalah
nama dari Satu saja. Tidak ada Tuhan selain Dia. Dia Maha Esa, mutlak Esa,
tunggal, tidak bersekutu yang lain dengan Dia.
Pengakuan atas Kesatuan, atau Keesaan, atau
tunggal-Nya Tuhan dan nama-Nya ialah Allah, kepercayaan itulah yang dinamai
TAUHID. Berarti menyusun fikiran yang suci murni, tulus ikhlas bahwa tidak
mungkin Tuhan itu lebih dari satu. Sebab Pusat Kepercayaan di dalam
pertimbangan akal yang sihat dan berfikir teratur hanya sampai kepada SATU.
Tidak ada yang menyamai-Nya, tidak ada yang
menyerupai-Nya dan tidak pula ada teman hidup-Nya. Karena mustahillah kalau Dia
lebih dari satu. Karena kalau Dia berbilang, terbahagilah kekuasaan-Nya.
Kekuasaan yang terbagi, artinya sama-sama kurang berkuasa.
“Allah
adalah tempat bergantung.” (ayat 2).
Artinya, bahwa segala sesuatu ini adalah Dia
yang menciptakan, sebab itu maka segala sesuatu itu kepada-Nyalah bergantung.
Ada atas kehendak-Nya. Kata Abu Hurairah: “Arti Ash-Shamadu ialah segala
sesuatu memerlukan dan berkehendak kepada Allah, berlindung kepada-Nya, sedang
Dia tidaklah berlindung kepada sesuatu jua pun. Husain bin Fadhal mengartikan:
“Dia berbuat apa yang Dia mau dan menetapkan apa yang Dia kehendaki.” Muqatil
mengartikan: “Yang Maha Sempurna, yang tidak ada cacat-Nya.”
“
Dia tidak beranak, dan tidak pula di peranakkan.” (ayat 3).
Mustahil Dia beranak. Yang memerlukan anak
hanyalah makhluk bernyawa yang menghendaki keturunan yang akan melanjutkan
hidupnya. Seseorang yang hidup di dunia ini merasa cemas kalau dia tidak
mendapat anak keturunan. Karena dengan keturunan itu berarti hidupnya akan
bersambung. Orang yang tidak beranak kalau mati, selesailah sejarahnya hingga
itu. Tetapi seseorang yang hidup, lalu beranak dan bersambung lagi dengan cucu,
besarlah hatinya, karena meskipun dia mesti mati, dia merasa ada yang
menyambung hidupnya.
Oleh sebab itu maka Allah Subhanahu wa
Ta’ala mustahil memerlukan anak. Sebab Allah hidup terus, tidak akan pernah
mati-mati. Dahulunya tidak berpemulaan dan akhirnya tidak berkesudahan. Dia
hidup terus dan kekal terus, sehingga tidak memerlukan anak yang akan
melanjutkan atau menyambung kekuasaan-Nya sebagai seorang raja yang
meninggalkan putera mahkota.
Dan Dia, Allah itu, tidak pula diperanakkan.
Tegasnya tidaklah Dia berbapa. Karena kalau dia berbapa, teranglah bahwa si
anak kemudian lahir ke dunia dari ayahnya, dan kemudian ayah itu pun mati. Si
anak menyambung kuasa. Kalau seperti orang Nasrani yang mengatakan bahwa Allah
itu beranak dan anak itu ialah Nabi Isa Almasih, yang menurut susunan kepercayaan
mereka sama dahulu tidak bepermulaan dan sama akhir yang tidak berkesudahan di
antara sang bapa dengan sang anak, maka bersamaanlah wujud di antara si ayah
dengan si anak, sehingga tidak perlu ada yang bernama bapa dan ada pula yang
bernama anak. Dan kalau anak itu kemudian baru lahir, nyatalah anak itu suatu
kekuasaan atau ketuhanan yang tidak perlu, kalau diakui bahwa si bapa kekal dan
tidak mati-mati, sedang si anak tiba kemudian.
“Dan
tidak ada seorang pun yang setara, dengan Dia.” (ayat 4).
Keterangan: Kalau diakui Dia beranak,
tandanya Allah Tuhan itu mengenal waktu tua. Dia memerlukan anak untuk
menyilihkan kekuasaan-Nya.
Kalau diakui diperanakkan, tandanya Allah
itu pada mulanya masih muda yaitu sebelum bapa-Nya mati. Kalau diakui bahwa Dia
terbilang, ada bapa ada anak, tetapi kedudukannya sama, fikiran sihat yang mana
jua pun akan mengatakan bahwa “keduanya” akan sama-sama kurang kekuasaannya.
Kalau ada dua yang setara, sekedudukan, sama tinggi pangkatnya, sama
kekuasaannya atas alam, tidak ada fikiran sihat yang akan dapat menerima kalau
dikatakan bahwa keduanya itu berkuasa mutlak. Dan kalau keduanya sama tarafnya,
yang berarti sama-sama kurang kuasa-Nya, yakni masing-masing mendapat separuh,
maka tidaklah ada yang sempurna ketuhanan keduanya. Artinya bahwa itu bukanlah
tuhan. Itu masih alam, itu masih lemah.
Yang Tuhan itu ialah Mutlak Kuasa-Nya, tiada
berbagi, tiada separuh seorang, tiada gandingan, tiada bandingan dan ada tiada
tandingan. Dan tidak pula ada tuhan yang nganggur, belum bertugas sebab bapanya
masih ada!
Itulah yang diterima oleh perasaan yang
bersih murni. Itulah yang dirasakan oleh akal cerdas yang tulus. Kalau tidak
demikian, kacaulah dia dan tidak bersih lagi. Itu sebabnya maka Surat ini
dinamai pula Surat Al-Ikhlas, artinya sesuai dengan jiwa murni manusia, dengan
logika, dengan berfikir teratur.
Tersebutlah di dalam beberapa riwayat yang
dibawakan oleh ahli tafsir bahwa asal mula Surat ini turun: “Shif lanaa
rabaka” ialah karena pernah orang musyrikin itu meminta kepada Nabi (Coba
jelaskan kepada kami apa macamnya Tuhanmu itu, emaskah dia atau tembaga atau
loyangkah?).
Menurut Hadis yang dirawikan oleh Termidzi
dari Ubay bin Ka’ab, memang ada orang musyrikin meminta kepada Nabi supaya
diuraikannya nasab (keturunan atau sejarah) Tuhannya itu. Maka datanglah Surat
yang tegas ini tentang Tuhan.
Abus Su’ud berkata dalam tafsirnya:
“Diulangi nama Allah sampai dua kali (ayat 1 dan ayat 2) dengan kejelasan bahwa
Dia adalah Esa, Tunggal, Dia adalah penggantungan segala makhluk, supaya
jelaslah bahwa yang tidak mempunyai kedua sifat pokok itu bukanlah Tuhan. Di
ayat pertama ditegaskan Keesaan-Nya, untuk menjelaskan bersih-Nya Allah dari
berbilang dan bersusun, dan dengan sifat Kesempurnaan Dia tempat bergantung,
tempat berlindung; bukan Dia yang mencari perlindungan kepada yang lain, Dia
tetap ada dan kekal dalam kesempurnaan-Nya, tidak pernah berkurang. Dengan
penegasan “Tidak beranak”, ditolaklah kepercayaan setengah manusi bahwa
malaikat itu adalah anak Allah atau Isa Almasih adalah anak Allah. Tegasnya
dari Allah itu tidak ada timbul apa yang dinamai anak, karena tidak ada sesuatu
pun yang mendekati jenis Allah itu, untuk jadi jodoh dan “teman hidupnya”, yang
dari pergaulan berdua timbullah anak.” – Sekian Abus Su’ud.
Imam Ghazali menulis di dalam kitabnya
“Jawahirul-Qur’an” : “Kepentingan Al-Qur’an itu ialah untuk ma’rifat terhadap
Allah dan ma’rifat terhadap hari akhirat dan ma’rifat terhadap Ash-Shirathal Mustaqim.
Ketiga ma’rifat inilah yang sangat utama pentingnya. Adapun yang lain adalah
pengiring-pengiring dari yang tiga ini. Maka Surat Al-Ikhlas adalah mengandung
satu daripada ma’rifat yang tiga ini, yaitu Ma’rifatullah, dengan
memberishkan-Nya, mensucikan fikiran terhadap-Nya dengan mentauhidkan-Nya
daripada jenis dan macam. Itulah yang dimaksud bahwa Allah bukanlah pula bapa
yang menghendaki anak, laksana pohon. Dan bukan diperanakkan, laksana dahan
yang berasal dari pohon, dan bukan pula mempunyai tandingan, bandingan dan
gandingan.”
Ibnul Qayyim menulis dalam Zaadul Ma’ad:
“Nabi SAW selalu membaca pada sembahyang Sunnat Al-Fajar dan sembahyang
Al-Witir kedua Surat Al-Ikhlas dan Al-Kaafiruun. Karena kedua Surat itu
mengumpulkan Tauhid, Ilmu dan Amal, Tauhid Ma’rifat dan Iradat, Tauhid I’tiqad
dan Tujuan. Surat Al-Ikhlas mengandungi Tauhid I’tiqad dan Ma’rifat dan apa
yang wajib dipandang tetap teguh pada Allah menurut akal murni, yaitu Esa,
Tunggal. Naf’i yang mutlak daripada bersyarikat dan bersekutu, dari segi mana
pun. Dia adalah Pergantungan yang tetap, yang pada-Nya terkumpul segala sifat
kesempurnaan, tidak pernah berkekurangan dari segi mana pun. Naf’i daripada
beranak dan diperanakkan, karena kalau keduanya itu ada, Dia tidak jadi
pergantungan lagi dan Keesaan-Nya tidak bersih lagi. Dan Naf’i atau tidaknya
kufu’, tandingan, bandingan dan gandingan adalah menafikan perserupaan,
perumpamaan ataupun pandangan lain. Sebab itu makna Surat ini mengandung segala
kesempurnaan bagi Allah dan menafikan segala kekuarangan. Inilah dia Pokok
Tauhid menurut ilmiah dan menurut akidah, yang melepaskan orang yang berpegang
teguh kepadanya daripada kesesatan dan mempersekutukan.
Itu sebab maka Surat Al-Ikhlas dikatakan
oleh Nabi Sepertiga Qur’an. Sebab Al-Qur’an berisi Berita (Khabar) dan Insyaa. Dan
Insyaa mengandung salah satu tiga pokok: (1) perintah, (2) larangan, (3) boleh
atau diizinkan. Dan Khabar dua pula: (1) Khabar yang datang dari Allah sebagai
Pencipta (Khaliq) dengan nama-nama-Nya dan hukum-hukum-Nya. (2) Khabar dari
makhluk-Nya, maka diikhlaskanlah oleh makhluk di dalam Surat Al-Ikhlas tentang
nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, sehingga jadilah isinya itu mengandung
Sepertiga Al-Qur’an. Dan dibersihkannya pula barangsiapa yang membacanya dengan
Iman, daripada mempersekutukan Allah secara ilmiah. Sebagaimana Surat
Al-Kaafiruun pun telah membersihkan dari syirik secara amali, yang timbul dari
kehendak dan kesengajaan.” – Sekian Ibnul Qayyim.
Ibnul Qayyim menyambung lagi: “Menegakkan
akidah ialah dengan ilmu. Persediaan ilmu hendaklah sebelum beramal. Sebab ilmu
itu adalah Imam, penunjuk jalan, dan hakim yang memberikan keputusan di mana
tempatnya dan telah sampai di mana. Maka “Qul Huwallaahu Ahad” adalah puncak
ilmu tentang akidah. Itu seba maka Nabi mengatakannya sepertiga Al-Qur’an.
Hadis-hadis yang mengatakan demikian boleh dikatakan mencapai derajat
mutawatir. Dan “Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruuna” sama nilainya dengan seperempat
Al-Qur’an. Dalam sebuah Hadis dari Termidzi, yang dirawikan dari Ibnu Abbas
dijelaskan: “Idzaa Zulzilatil Ardhu” sama nilainya dengan separuh Al-Qur’an.
“Qul Huwallahu Ahad” sama dengan sepertiga Al-Qur’an dan “Qul Yaa Ayyuhal
Kaafiruuna” sama nilainya dengan seperempat Al-Qur’an.
Al-Hakim merawikan juga Hadis ini dalam
Al-Mustadriknya dan beliau berkata bahwa Isnad Hadis ini shahih.
***
Maka tersebutlah dalam sebuah Hadis yang
dirawikan oleh Bukhari dari Aisyah, – moga-moga Allah meridhainya – bahwa Nabi
SAW pada satu waktu telah mengirim siryah (patroli) ke suatu tempat. Pemimpin
patroli itu tiap-tiap sembahyang yang menjahar menutupnya dengan membaca “Qul
Huwallaahu Ahad.” Setelah mereka kembali pulang, mereka khabarkanlah perbuatan
pimpinan mereka itu kepada Nabi SAW. Lalu Nabi SAW berkata: “Tanyakan kepadanya
apa sebab dia lakukan demikian.” Lalu mereka pun bertanya kepadanya, (mengapa
selalu ditutup dengan membaca “Qul Huwallaahu Ahad”).
Dia menjawab: “Itu adalah sifat dari Tuhan
Yang Bersifat Ar-Rahman, dan saya amat senang membacanya.”
Mendengar keterangan itu bersabdalah Nabi
SAW: “Katakanlah kepadanya bahwa Allah pun senang kepadanya.”
Dan terdapatlah juga beberapa sabda Rasul
yang lain tentang kelebihan Surat Al-Ikhlas ini. Banyak pula Hadis-hadis
menerangkan pahala membacanya. Bahkan ada sebuah Hadis yang diterima dari Ubay
dan Anas bahwa Nabi SAW pernah bersabda:
“Diasaskan
tujuh petala langit dan tujuh petala bumi atas Qul Huwallaahu Ahad.”
Betapa pun derajat Hadis ini, namun maknanya
memang tepat. Al-Imam Az-Zamakhsyari di dalam Tafsirnya memberi arti Hadis ini:
“Yaitu tidaklah semuanya itu dijadikan melainkan untuk menjadi bukti atas
mentauhidkan Allah dan mengetahui sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam Surat
ini.”
Diriwayatkan oleh Termidzi dari Abu
Hurairah, berkata dia: “Aku datang bersama Nabi SAW tiba-tiba beliau dengar
seseorang membaca “Qul Huwallaahu Ahad”. Maka berkatalah beliau SAW: “Wajabat”
(Wajiblah). Lalu aku bertanya: “Wajib apa ya Rasul Allah?” Beliau menjawab:
“Wajib orang itu masuk syurga.” Kata Termidzi Hadis itu Hasan (bagus) dan
shahih.
Posting Komentar